Rangkuman Kesimpulan Pembelajaran
Pratap Triloka terdiri dari tiga semboyan yaitu Ing Ngarso Sung Tulado, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Semboyan tersebut memiliki arti di depan memberi teladan, di tengah memberi motivasi dan di belakang memberikan dukungan. Pedoman ini bisa juga diterapkan oleh seorang pemimpin ketika harus mengambil keputusan. Tidak harus melulu berada di atas a.k.a memerintah tapi dengan menubuhkan arti dari semboyan yang selalu kita dengung-dengungkan sebagai orang yang telah berkecimpung dalam dunia pendidikan. Ya,.. ketika berada di depan memberikan teladan bagaimana harusnya bersikap saat mengambil keputusan yang bijak, memberikan bimbingan dan motivasi saat berada duduk sejajar baiknya keputusan apa yang perlu dipilih serta memberikan dukungan saat berada di belakang ketika harus mendorong seseorang mengambil jalan keluar terbaiknya. Itulah yang seharusnya dilakukan seorang pemimpin sejati ketika mengambil keputusan dan memastikan keputusan yang diambil itu tidak merugikan orang banyak, berpihak kepada murid dan rekan sejawat agar menuju kebahagiaan, serta bertanggung jawab.
Seorang guru perlu memiliki nilai-nilai positif dalam dirinya agar mampu membimbing dan mempengaruhi dirinya untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dalam menciptakan pembelajaran yang selalu berpihak kepada murid. Nilai-nilai positif tersebut antara lain mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, serta berpihak kepada murid. Nilai-nilai tersebut harus dipegang teguh saat kita berada dalam situasi yang menuntut kita untuk mengambil keputrusan dari dua pilihan yang secara logika dan rasa adalah benar atau dengan kata lain situasi dilema etika (benar vs benar) dan atau ketika kita berada pada situasi bujukan moral (benar vs salah). Kedua situasi tersebut menuntut kita untuk berpikir dalam mempertimbangkan sesuatu hal dengan baik dan seksama agar kita dapat mengambil keputusan yang tepat, benar, dan bijak.
Keputusan yang diambil tersebut merupakan buah dari nilai-nilai positif yang dipegang teguh dan dijalankan oleh kita. Nilai-nilai positif akan mengarahkan kita mengambil keputusan dengan resiko yang sekecil-kecilnya. Keputusan yang mampu memunculkan kepentingan dan keberpihakan pada peserta didik.
Nilai-nilai positif mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif serta berpihak pada murid adalah manifestasi dari pengimplementasian kompetensi sosial emosional kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial dan keterampilan berinteraksi sosial dalam mengambil keputusan secara berkesadaran penuh untuk meminimalisir kesalahan dan konsekuensi yang akan terjadi.
Coaching adalah suatu kegiatan yang memerlukan keterampilan yang baik dalam menggali masalah dan menentukan pemecahannya dengan baik. Pengertian coaching menurut ICF adalah sebagai bentuk kemitraan yang dijalankan oleh coach dengan klien/ coacheenya melalui proses kreatif yang ditandai dengan eksplorasi membangun ide yang semuanya sebetulnya ditujukan untuk memaksimalkan potensi personal dan profesional si klient tersebut. Coach bukan memberitahu, kemudian memikirkan solusinya terlebih dahulu sebelum mendengarkan, atau bahkan menggunakan coaching sebagai sarana memberikan feedback yang sifatnya lebih ke jusdgemental Asumsi. Tujuannya adalah mengantarkan si coachee dari kondisi yang dia sedang alami sekarang ke kondisi baru yang lebih baik. Tempat tujuan dimana di tempat itulah si coachee termaksimalkan potensinya.
Perbedaan Coaching dengan beberapa istilah serupa:
1. Mentoring; Menggunakan pengalaman untuk membantu orang lain.
2. Coaching; Membangun ide untuk memberdayakan potensi seseorang.
3. Konseling; Memberikan bantuan dalam merubah sikap orang lain.
4. Training; Secara terencana memfasilitasi pembelajaran (pengetahuan, keahlian dan perilaku) kepada para pegawai.
5. Fasilitasi; Pihak netral yang membantu mengajukan keputusan, bukan si pembuat keputusan.
Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Oleh sebab itu keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.
Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan (andayani/ handayani) semua kekuatan diri pada murid. Sebagai seorang Guru (pendidik/ pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun). Dalam relasi guru dengan guru, seorang coach juga dapat membantu seorang coachee untuk menemukan kekuatan dirinya dalam pembelajaran.
Pendekatan komunikasi dengan proses coaching merupakan sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan. Oleh sebab itu, empat (4) cara berpikir ini dapat melatih guru (coach/ pamong) dalam menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam setiap perjumpaan pada setiap proses komunikasi dan pembelajaran.
Dengan langkah coaching TIRTA, kita dapat mengidentifikasi masalah apa yang sebenarnya terjadi dan membuat pemecahan masalah secara sistematis. Konsep coaching TIRTA sangat ideal apabila dikombinasikan dengan sembilan langkah konsep pengambilan dan pengujian keputusan sebagai evaluasi terhadap keputusan yang kita ambil.
TIRTA merupakan model coaching yang dikembangkan dengan semangat merdeka belajar. Model TIRTA menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching. Hal ini penting mengingat tujuan coaching, yaitu untuk melejitkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka. TIRTA adalah satu model coaching yang diperkenalkan dalam Program Pendidikan Guru Penggerak saat ini. TIRTA dikembangkan dari Model GROW. GROW adalah akronim dari Goal, Reality, Options dan Will.
Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini,
Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee,
Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi.
Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.TIRTA akronim dari :
T : Tujuan
I : Identifikasi
R : Rencana aksi
TA: Tanggung jawab
Pembimbingan yang telah dilakukan oleh pendamping praktik dan fasilitator telah membantu saya berlatih mengevaluasi keputusan yang pernah saya ambil. Saya berharap keputusan yang tersebut sudah berpihak pada murid, sudah sejalan dengan nilai-nilai kebajikan universal, dan merupakan keputusan yang bertanggung jawab. Aamiin..
Kompetensi sosial emosional (KSE) adalah kemampuan individu untuk memahami dan mengelola emosi, mengembangkan hubungan yang positif dengan orang lain, serta mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab dalam berbagai situasi sosial. KSE juga mencakup kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, berempati, dan bekerja sama dengan orang lain. Beberapa aspek KSE adalah:
- Kesadaran diri: kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi dan perilaku diri sendiri.
- Manajemen Diri: kemampuan untuk mengelola emosi, menahan diri dari reaksi impulsif, dan mengendalikan perasaan negatif.
- Kesadaran sosial: kemampuan untuk memahami dan menghargai perbedaan antara diri sendiri dan orang lain, serta memahami norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
- Keterampilan Berelasi: kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat, saling mendukung, dan positif dengan orang lain.
- Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab: kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat dan bertanggung jawab dalam berbagai situasi sosial.
KSE memiliki peran penting dalam kehidupan sekolah. Warga sekolah dengan KSE yang baik dapat mengelola emosi mereka dengan baik, berinteraksi dengan orang lain dengan efektif, dan membuat keputusan yang tepat dalam situasi sosial yang kompleks. Iklim dan budaya sekolah juga dapat menjadi lebih harmonis dan damai jika individu-individu dalam sekolah memiliki KSE yang baik.
Sebagai seorang guru, kita harus mampu menjembatani perbedaan minat dan gaya belajar murid di kelas sehingga dalam proses pembelajaran murid mendapatkan pembelajaran yang menyenangkan dan sesuai profil belajar mereka masing-masing. Untuk itu diperlukan pengambilan keputusan yang tepat agar seluruh kepentingan murid dapat terakomodir dengan baik. Kompetensi sosial dan emosional diperlukan agar guru dapat fokus memberikan pembelajaran dan dapat mengambil keputusan dengan tepat dan bijak sehingga dapat mewujudkan merdeka belajar di kelas maupun di sekolah.
Keberpihakan dan mengutamakan kepentingan murid dapat tercipta dari tangan pendidik yang mampu membuat solusi tepat dari setiap permasalahan yang terjadi. Pendidik yang mampu melihat permasalahan dari berbagai kaca mata dan pendidik yang dengan tepat mampu membedakan apakah permasalahan yang dihadapi termasuk dilema etika ataukah bujukan moral.
Seorang pendidik ketika dihadapkan dengan kasus-kasus yang fokus terhadap masalah moral dan etika, baik secara sadar atau pun tidak akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai yang dianutnya akan mempengaruhi dirinya dalam mengambil sebuah keputusan. Jika nilai-nilai yang dianutnya nilai-nilai positif maka keputusan yang diambil akan tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan dan begitupun sebaliknya jika nilai-nilai yang dianutnya tidak sesuai dengan kaidah moral, agama dan norma maka keputusan yang diambilnya lebih cenderung hanya benar secara pribadi dan tidak sesuai harapan kebanyakan pihak.Kita tahu bahwa Nilai-nilai yang dianut oleh Guru Penggerak adalah reflektif, mandiri, inovatif, kolaboratif dan berpihak pada anak didik. Nilai-nilai tersebut akan mendorong guru untuk menentukan keputusan masalah moral atau etika yang tepat sasaran, benar dan meminimalisir kemungkinan kesalahan pengambilan keputusan yang dapat merugikan semua pihak khususnya murid-murid.
Pengambilan keputusan yang tepat tekait kasus-kasus pada masalah moral atau etika hanya dapat dicapai jika dilakukan melalui 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Dapat dipastikan bahwa jika pengambilan keputusan dilakukan secara akurat melalui proses analisis kasus yang cermat dan sesuai dengan 9 langkah tersebut, maka keputusan tersebut diyakini akan mampu mengakomodasi semua kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat , maka hal tersebut akan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.
Paradigma, Prinsip, dan Langkah Pengambilan Keputusan
Seperti diketahui juga, di dalam menghadapi pengambilan keputusan, seringkali bersinggungan dengan prinsip-prinsip etika, yang walaupun sebenarnya prinsipnya tidak berkaitan dengan preferensi pribadi seseorang, namun merupakan sesuatu yang berlaku secara universal.
Untuk mempunyai pemahaman yang baik tentang pengambilan keputusan, sudah seharusnya kita menghargai konsep dan prinsip etika yang universal dan disepakati bersama, seperti Keadilan, Tanggung Jawab, Kejujuran, Bersyukur, Lurus Hati, Berprinsip, Integritas, Kasih Sayang, Rajin, Komitmen, Percaya Diri, Kesabaran, dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu, di dalam situasi dilema etika menyajikan 4 (empat) paradigma, yaitu:
- Individu lawan masyarakat (individual vs community)
- Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)
- Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)
- Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)
Sementara itu, untuk pengambilan keputusan diperlukan prinsip-prinsip yang melandasinya. Terdapat 3 (tiga) prinsip yang akan membantu dalam menghadapi sejumlah pilihan yang penuh dengan tantangan dalam pengambilan keputusan, yakni Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking), Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)
Selanjutnya, segala keputusan yang diambil haruslah tepat, arif, dan bijaksana. Maka sebagai seorang pemimpin pembelajaran membutuhkan pengujian yang selaras dengan prinsip dasar pengambilan keputusan yang etis.
Terdapat 9 (sembilan) langkah untuk menguji keputusan dalam situasi dilema etika yang terkadang menggiring kita ke dalam situasi dan nilai yang bertentangan. Kesembilan langkah tersebut adalah:
- Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini.
- Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.
- Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.
- Pengujian benar atau salah. Ada uji legal, uji regulasi, uji intuisi, uji halaman depan koran, dan uji panutan/idola.
- Pengujian Paradigma Benar lawan Benar.
- Melakukan Prinsip Resolusi.
- Investigasi Opsi Trilema.
- Buat Keputusan.
- Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan.
Ketika guru sebagai pemimpin pembelajaran melakukan pengambilan keputusan yang memerdekakan dan berpihak pada murid, maka dapat dipastikan murid-muridnya akan belajar menjadi oang-orang yang merdeka, kreatif , inovatif dalam mengambil keputusan yang menentukan bagi masa depan mereka sendiri. Di masa depan mereka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang matang, penuh pertimbangan dan cermat dalam mengambil keputusan-keputusan penting bagi kehidupan dan pekerjaannya.
Keputusan yang diambil oleh seorang guru akan menjadi ibarat pisau yang di satu sisi apabila digunakan dengan baik akan membawa kesuksesan dalam kehidupan murid di masa yang akan datang. Demikian sebaliknya apabila kebutuhan tersebut tidak diambil dengan bijaksana maka bisa jadi berdampak sangat buruk bagi masa depan murid-murid. Keputusan yang berpihak kepada murid haruslah melalui pertimbangan yang sangat akurat dimana dilakukan terlebih dahulu pemetaan terhadap minat belajar, profil belajar dan kesiapan belajar murid untuk kemudian dilakukan pembelajaran berdiferensiasi yaitu melakukan diferensiasi konten, diferensiasi proses dan diferensiasi produk.
Dalam perjalanannya menuju profil pelajar pancasila, ada banyak dilema etika dan bujukan moral sehingga diperlukan panduan sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan untuk memutuskan dan memecahkan suatu masalah agar keputusan tersebut berpihak kepada murid demi terwujudnya merdeka belajar.