Kamis, 30 Maret 2023

Koneksi Antar Materi-2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik



"Teman Curhat Positif"

    Itu adalah istilah yang saya pakai pribadi untuk peran kita sebagai seorang coach di sekolah. Alih-alih menghubungkannya dengan supervisi akademik, yang asumsi awal saya adalah sebuah proses penilaian guru. Dimana hasilnya akan digunakan sebagai salah satu nilai pada rapot guru selama setahun. Wahhhhhhhh.... ngeriiiiii... Dag Dig Dug Der rasanya...2 hari sebelum hari H nya..  badan menyusut karena harus bolak balik kamar mandi. Hmmm... jadi senyum-senyum sendiri sekarang ingat kejadian itu. Sesi supervisi akademik saya kali pertama 12 tahun silam. ^_^

Kemudian Saya terpikir, apa sebenarnya tujuan kegiatan ini? Untuk apa saya perlu mempelajari ini?

    Setelah mempelajari Modul 2.3 ini Coaching untuk Supervisi Akademik, saya jauh  lebih bisa mendalami dan memahami makna dan tujuan sebenarnya juga langkah-langkah tepatnya. Ternyata sangat jauh berbeda dari asumsi awal saya tadi. Supervisi akademik yang dilakukan seharusnya untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana tertuang dalam standar proses pada standar nasional pendidikan pasal 12 yaitu pelaksanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 2 huruf b, diselenggarakan dalam suasana belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa kreativitas kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik.

    Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah sebagaimana tertuang dalam standar tenaga kependidikan pada Standar Nasional Pendidikan pasal 20 ayat 2: Kriteria minimal kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Diharapkan pemimpin pembelajaran di sekolah dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan coaching.

    Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”

    Pengertian coaching menurut ICF: Sebagai bentuk kemitraan yang dijalankan oleh coach dg klien/ coacheenya melalui proses kreatif yang ditandai dengan eksplorasi membangun ide yang semuanya sebetulnya ditujukan untuk memaksimalkan potensi personal dan profesional si klient tersebut. 

    Skil-skill coaching yang efektif: Bagaimana seorang coach
- mendengarkan secara aktif
- mengajukan pertanyaan berbobot
- memancing ide-ide dan juga terutama 
- memfasilitasi pertumbuhan dari si coachee tersebut 

    Coach bukan memberitahu, kemudian memikirkan solusinya terlebih dahulu sebelum mendengarkan, atau bahkan menggunakan coaching sebagai sarana memberikan feedback yang sifatnya lebih ke jusdgemental Asumsi. Coaching  betul-betul merupakan sarana pemberdayaan potensi. Tujuan kita adalah mengantarkan si coachee dari kondisi yang dia sedang alami sekarang ke kondisi baru yang lebih baik. Tempat tujuan dimana di tempat itulah si coachee termaksimalkan potensinya.

    Kesimpulan saya:
1. Mentoring; Menggunakan pengalaman untuk membantu orang lain. 
2. Coaching; Membangun ide untuk memberdayakan potensi seseorang. 
3. Konseling; Memberikan bantuan dalam merubah sikap orang lain. 
4. Training; Secara terencana memfasilitasi pembelajaran (pengetahuan, keahlian dan perilaku) kepada para pegawai. 
5. Fasilitasi; Pihak netral yang membantu mengajukan keputusan, bukan si pembuat keputusan. 

Dalam interaksi sekolah saya pernah merasa menjadi coach dan mentor terhadap rekan sejawat juga untuk teman sebaya. Menjadi konselor, trainer dan fasilitator saya rasakan ketika berhubungan dengan murid dan orang tuanya. Ketika melakukan coaching saya merasa lebih seperti kegiatan "curhat" namun bukan curhat yang seperti kebanyakan. Curhat sisi saya adalah curhat yang memberdayakan dan mengembangkan potensi teman ataupun murid yang sedang curhat. Saya berharap kedepannya bisa mengimplementasikan pengetahuan ini dalam kehidupan di rumah, karir, dan dunia dengan lebih baik lagi. Aamiin.





Rabu, 29 Maret 2023

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan-Modul 2.3

 

"Teman Curhat Positif"

    Itu adalah istilah yang saya pakai pribadi untuk peran kita sebagai seorang coach di sekolah. Alih-alih menghubungkannya dengan supervisi akademik, yang asumsi awal saya adalah sebuah proses penilaian guru. Dimana hasilnya akan digunakan sebagai salah satu nilai pada rapot guru selama setahun. Wahhhhhhhh.... ngeriiiiii... Dag Dig Dug Der rasanya...2 hari sebelum hari H nya..  badan menyusut karena harus bolak balik kamar mandi. Hmmm... jadi senyum-senyum sendiri sekarang ingat kejadian itu. Sesi supervisi akademik saya kali pertama 12 tahun silam. ^_^

    Setelah mempelajari Modul 2.3 ini Coaching untuk Supervisi Akademik, saya jauh  lebih bisa mendalami dan memahami makna dan tujuan sebenarnya juga langkah-langkah tepatnya. Ternyata sangat jauh berbeda dari asumsi awal saya tadi.Supervisi akademik yang dilakukan seharusnya untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana tertuang dalam standar proses pada standar nasional pendidikan pasal 12 yaitu pelaksanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 2 huruf b, diselenggarakan dalam suasana belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa kreativitas kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik.

    Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah sebagaimana tertuang dalam standar tenaga kependidikan pada Standar Nasional Pendidikan pasal 20 ayat 2: Kriteria minimal kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Diharapkan pemimpin pembelajaran di sekolah dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan coaching.

    Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”

    Pengertian coaching menurut ICF: Sebagai bentuk kemitraan yang dijalankan oleh coach dg klien/ coacheenya melalui proses kreatif yang ditandai dengan eksplorasi membangun ide yang semuanya sebetulnya ditujukan untuk memaksimalkan potensi personal dan profesional si klient tersebut. 

    Skil-skill coaching yang efektif: Bagaimana seorang coach
- mendengarkan secara aktif
- mengajukan pertanyaan berbobot
- memancing ide-ide dan juga terutama 
- memfasilitasi pertumbuhan dari si coachee tersebut 

    Coach bukan memberitahu, kemudian memikirkan solusinya terlebih dahulu sebelum mendengarkan, atau bahkan menggunakan coaching sebagai sarana memberikan feedback yang sifatnya lebih ke jusdgemental Asumsi. Coaching  betul-betul merupakan sarana pemberdayaan potensi. Tujuan kita adalah mengantarkan si coachee dari kondisi yang dia sedang alami sekarang ke kondisi baru yang lebih baik. Tempat tujuan dimana di tempat itulah si coachee termaksimalkan potensinya.

    Kesimpulan saya:
1. Mentoring; Menggunakan pengalaman untuk membantu orang lain. 
2. Coaching; Membangun ide untuk memberdayakan potensi seseorang. 
3. Konseling; Memberikan bantuan dalam merubah sikap orang lain. 
4. Training; Secara terencana memfasilitasi pembelajaran (pengetahuan, keahlian dan perilaku) kepada para pegawai. 
5. Fasilitasi; Pihak netral yang membantu mengajukan keputusan, bukan si pembuat keputusan. 

Dalam interaksi sekolah saya pernah merasa menjadi coach dan mentor terhadap rekan sejawat juga untuk teman sebaya. Menjadi konselor, trainer dan fasilitator saya rasakan ketika berhubungan dengan murid dan orang tuanya. Ketika melakukan coaching saya merasa lebih seperti kegiatan "curhat" namun bukan curhat yang seperti kebanyakan. Curhat sisi saya adalah curhat yang memberdayakan dan mengembangkan potensi teman ataupun murid yang sedang curhat.




Selasa, 07 Maret 2023

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan-Modul 2.2

Sudah banyak hal yang telah dilalui dalam program PGP ini. Terakhir kala saya menulis refleksi dwi mingguan ini adalah saat modul 1.1 yaitu mengenai Paradigma Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Di sana saya utarakan awal mula saya terjun ke progran GP ini sampai dengan materi implementasi konsep pendidikan "menghamba pada murid". 

Saat ini sudah banyak juga materi-materi dalam pendidikan yang ternyata masih banyak yang belum saya kembangkan dalam diri saya. Setelah melakukan aksi nyata modul 1.3 mengenai visi murid di masa depan, saya terbayangkan masa depan kapal bernama "Indonesia" dimana saya yakin bahwa salah satu anak yang saat ini saya didik akan menjadi penggerak dan pengubah terbaik dalam komunitasnya kelas. Dimulai dari dirinya yang sudah selaras dengan profil pelajar Pancasila, yang sudah menubuh dalam dirinya, saya yakin akan mengimbaskan kepada hal-hal di sekitarnya dan muaranya adalah hal baik untuk negara Indonesia. 

Dilanjutkan dengan kegiatan diseminasi budaya positif. Waaahhhhhhhhh!!!!!! bisa dikatakan luar biasa saya mampu melaluinya. Berbicara di depan Kepala Sekolah dan rekan sejawat yang merupakan senior-senior dalam hal pengalaman dalam kancah dunia pendidikan ini. Menularkan hal-hal yang penting untuk diketahui, dipahami, dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan kita sehari-hari di kelas, di lingkungan sekolah bahkan di komunitas. Dag dig dug derrrrrr rasanya kala itu. Dalam hati terkecil saya berharap semoga bermanfaat untuk rekan sejawat dan orang-orang di sekitar saya serta untuk saya pribadi, Aamiin...


Setelah vakum jadwal PGP selama 1 bulan. Masuklah ke materi modul 2.1 pada awal bulan Februari yaitu mengenai Pembelajaran Berdiferensiasi. Makin terpukau rasanya mengetahui pentingnya pembelajaran berdiferensiasi dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Namun saya sebagai guru sekolah dasar dan mengampu kelas 1, merasa bahwa ternyata saya sudah menerapkannya dalam kegiatan sehari-hari di kelas maupun di lingkungan sekolah walaupun belum konsisten. Jadi, harus menjadi perhatian untuk saya agar melakukannya secara konsisten dan terus menerus.

Kemudian diakhiri dengan materi pembelajaran sosial emosional (PSE). Awalnya sebelum belajar mengenai PSE, saya berasumsi bahwa murid tidak memerlukan kompetensi tersebut. Jadi, runtut dengan yang saya lakukan adalah melakukan sekenanya saja. Tidak menjadikannya sebagai prioritas. Ternyata, asumsi awal saya salah fatal. Kompetensi sosial emosional sangat diperlukan diimplementasikan pada diri kita sebagai pendidik, murid, dan juga rekan sejawat untuk menjadikan masa depan Indonesia ini memiliki manusia yang sesuai dengan profil pelajar Pancasila.

Aamiin....

Senin, 06 Maret 2023

Koneksi Antar Materi-2.2 Pembelajaran Sosial-Emosional



PEMBELAJARAN SOSIAL DAN EMOSIONAL 

Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat: 

1. Memahami, menghayati, dan  mengelola emosi  (kesadaran diri). 

2. Menetapkan dan mencapai tujuan positif  (manajemen diri)

3. Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

4. Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi)

5. Membuat keputusan yang bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)


KOMPETENSI SOSIAL EMOSIONAL

Kompetensi Sosial dan Emosional adalah Kompetensi yang  berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mengenai  aspek sosial dan emosional. Ada  5 kompetensi sosial dan emosional, yaitu : kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Kelima kompetensi sosial emosional ini ditemukan dalam  program pengembangan anak dan remaja yang terbukti  efektif untuk menumbuhkan kecerdasan emosional.

1. Kesadaran diri. Kemampuan untuk memahami perasaan, emosi, dan nilai-nilai diri sendiri, dan bagaimana pengaruhnya pada perilaku diri dalam berbagai situasi dan konteks kehidupan. Contohnya antara lain: Dapat menggabungkan identitas pribadi dan identitas sosial; Mengidentifikasi  kekuatan/aset diri dan budaya; Mengidentifikasi emosi-emosi dalam diri; Menunjukkan integritas dan kejujuran; Dapat menghubungkan perasaan, pikiran, dan nilai-nilai; Menguji dan mempertimbangkan prasangka dan bias; Memupuk efikasi diri; Memiliki pola pikir bertumbuh; Mengembangkan minat dan menetapkan arah tujuan hidup.

2. Manajemen diri. Kemampuan untuk mengelola emosi, pikiran, dan perilaku diri secara efektif dalam berbagai situasi dan untuk mencapai tujuan dan aspirasi. Seperti: Mengelola emosi diri; Mengidentifikasi dan menggunakan strategi-strategi pengelolaan stres; Menunjukkan disiplin dan motivasi diri; Merancang tujuan pribadi dan bersama; Menggunakan keterampilan merancang dan mengorganisir; Memperlihatkan keberanian untuk mengambil inisiatif; Mendemonstrasikan kendali diri dan dalam kelompok.

3. Kesadaran sosial. Kemampuan untuk memahami sudut pandang dan dapat berempati dengan orang lain termasuk mereka yang berasal dari latar belakang, budaya, dan konteks yang berbeda-beda. Misalnya: Mempertimbangkan pandangan/pemikiran orang lain; Mengakui kemampuan/kekuatan orang lain; Mendemonstrasikan empati dan rasa welas kasih; Menunjukkan kepedulian atas perasaan orang lain; Memahami dan mengekspresikan rasa syukur; Mengidentifikasi ragam norma sosial, termasuk dengan norma-norma yang menunjukkan ketidakadilan.

4. Keterampilan berelasi. Kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan yang sehat dan suportif. Seperti: Berkomunikasi dengan efektif; Mengembangkan relasi/hubungan positif; Memperlihatkan kompetensi kebudayaan; Mempraktikkan kerjasama tim dan pemecahan masalah secara kolaboratif; Dapat melawan tekanan sosial yang negatif; Menunjukkan sikap kepemimpinan dalam kelompok; Mencari dan menawarkan bantuan apabila membutuhkan; Turut membela hak-hak orang lain.

5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab. Kemampuan untuk mengambil pilihan-pilihan membangun yang berdasar atas kepedulian, kapasitas dalam mempertimbangkan standar-standar etis dan rasa aman, dan untuk mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari bermacam-macam tindakan dan perilaku untuk kesejahteraan psikologis (well-being) diri sendiri, masyarakat, dan kelompok. Seperti: Menunjukkan rasa ingin tahu dan keterbukaan pikiran; Mengidentifikasi/mengenal solusi dari masalah pribadi dan sosial; Berlatih membuat keputusan beralasan/masuk akal, setelah menganalisis informasi, data, dan fakta; Mengantisipasi dan mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya; Menyadari bahwa keterampilan berpikir kritis sangat berguna baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah; Merefleksikan peran seseorang dalam memperkenalkan kesejahteraan psikologis (well-being) diri sendiri, keluarga, dan komunitas; Mengevaluasi dampak/pengaruh dari seseorang, hubungan interpersonal, komunitas, dan kelembagaan.

CASEL Singkatan dari Collaborative for Academic and Social Emotional Learning adalah sebuah kerangka pembelajaran sosial emosional yang didirikan tahun 1995 oleh sekelompok pendidik, psikolog, di antaranya Daniel Goleman (perintis konsep Kecerdasan Emosional) untuk mengupayakan pembelajaran 5 Kompetensi Sosial Emosional di pendidikan. Guru yang memiliki kompetensi sosial dan emosional yang baik lebih efektif dan cenderung lebih resilien/tangguh dan merasa nyaman di kelas  karena mereka dapat bekerja lebih baik dengan murid. Adanya keterkaitan antara kecakapan sosial dan emosional yang diukur ketika TK dan hasil ketika dewasa di bidang pendidikan, pekerjaan, pelanggaran hukum, dan kesehatan mental. 

5 Kompetensi Sosial dan Emosional berhubungan erat dengan  6 (enam) dimensi  Profil Pelajar Pancasila. Sebagai contoh, ketika seorang murid perlu mengeluarkan ide yang baru dan orisinil untuk memecahkan masalah  (dimensi kreatif)  diperlukan juga kemampuan bernalar kritis untuk melihat permasalahan yang ada. Dalam situasi tersebut, murid tersebut menerapkan kesadaran diri dan manajemen diri. 

Selanjutnya, solusi yang dihasilkannya juga perlu mempertimbangkan akhlak kepada makhluk hidup lain yang dapat dimunculkan dari dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Dalam situasi tersebut, ia menerapkan KSE kesadaran sosial dan keterampilan berelasi. Dalam mewujudkan solusinya, ia pun perlu melibatkan orang lain dengan tetap menghargai keragaman latar belakang yang dimiliki (dimensi gotong royong dan berkebhinekaan global). Dalam tahap ini, ia menerapkan KSE kesadaran sosial, keterampilan relasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Pembelajaran  5 KSE tersebut akan dapat  menghasilkan murid-murid  yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, responsif, proaktif, mendorong anak untuk memiliki rasa ingin tahu tentang ilmu pengetahuan, sosial, budaya, dan humaniora.  Semua ini selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dalam Standar Nasional Pendidikan.

 “Kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak airnya, dan mendapat sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari Bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh Bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.” _Ki Hajar Dewantara_

Indikator Penerapan Pembelajaran Sosial dan Emosional di;

1. KELAS

- Pengajaran  eksplisit: Secara khusus, muurid memiliki kesempatan untuk menumbuhkan, melatih, dan merefleksikan kompetensi sosial dan emosional dengan cara yang sesuai  dan selaras dengan perkembangan budaya yang dimiliki

- Pembelajaran akademik yang terintegrasi KSE: Tujuan Kompetensi Sosial dan Emosional diintegrasikan ke dalam konten pembelajaran dan strategi pembelajaran pada materi akademik,  musik, seni, dan pendidikan jasmani

- Pelibatan dan Suara murid: Seluruh warga sekolah menghormati dan meningkatkan berbagai perspektif dan pengalaman murid, dengan melibatkan murid sebagai pemimpin, pemecah masalah, dan pembuat keputusan 


2. SEKOLAH

- Iklim kelas dan sekolah yang mendukung: Lingkungan belajar  di seluruh sekolah dan kelas mendukung pengembangan kompetensi sosial dan emosional, responsif secara budaya, dan berfokus pada upaya membangun hubungan dan komunitas

- Berfokus pada KSE pendidik dan tenaga kependidikan (PTK): Pendidik dan tenaga kependidikan memiliki kesempatan secara reguler untuk mengembangkan kompetensi sosial, emosional budaya mereka sendiri, berkolaborasi satu sama lain, membangun hubungan saling percaya, dan memelihara komunitas yang erat

- Kebijakan yang mendukung: Kebijakan dan praktik pendisiplinan dengan instruksi yang jelas, restorative, sesuai dengan perkembangan anak dan diterapkan secara adil

- Dukungan terintegrasi yang berkelanjutan: Pembelajaran sosial dan emosional terintegrasi dengan mulus ke dalam rangkaian dukungan akademik dan perilaku dengan menyediakan kesempatan untuk  memastikan semua kebutuhan murid terpenuhi.


3. KELUARGA & KOMUNITAS

- Pelibatan kemitraan dengan orangtua: Keluarga dan Pendidikan dan tenaga kependidikan sekolah memiliki kesempatan yang regular dan bermakna untuk membangun hubungan dan berkolaborasi untuk  mendukung perkembangan sosial, emosional dan akademik, murid.

- Kemitraan dengan komunitas: Pendidik dan tenaga kependidikan dan mitra masyarakat menyelaraskan istilah, strategi, dan komunikasi yang sama seputar pengupayaan dan inisiatif terkait KSE, termasuk kegiatan di luar sekolah.

-Terbentuk sistem dalam upaya peningkatan berkelanjutan: Data implementasi dan artefak dikumpulkan dan digunakan untuk memantau progress menuju tujuan dan terusmeningkatkan semua system, praktik baik, dan kebijakan terkait PSE dengan fokus pada kesetaraan.

Implementasi PSE dengan pengajaran eksplisit  memastikan murid memiliki kesempatan yang konsisten untuk menumbuhkan, melatih, dan berefleksi tentang  kompetensi sosial dan emosional  dengan cara yang sesuai  dan terbuka dengan keragaman budaya.  Pengajaran eksplisit KSE dapat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler.  Pendidik dapat menggunakan berbagai proyek,  acara atau  kegiatan sekolah  yang rutin  untuk mengajarkan kompetensi sosial dan emosional secara eksplisit.

Untuk mengintegrasikan KSE dalam praktek mengajar guru dan kurikulum akademik, tujuan Kompetensi Sosial Emosional dapat diintegrasikan ke dalam konten pembelajaran dan strategi pembelajaran pada materi akademik, serta musik, seni, dan pendidikan jasmani.  

 Lingkungan yang memprioritaskan kualitas relasi antara guru dan murid adalah salah satu indikator utama dalam penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah. Kualitas relasi guru dan murid yang tercermin dalam sikap saling percaya akan berdampak pada  ketertarikan dan keterlibatan murid dalam pembelajaran.   Sikap saling  percaya akan menumbuhkan perasaan aman dan nyaman bagi murid dalam mengekspresikan dirinya. murid-murid akan lebih berani bertanya, mencari tahu, berpendapat, mencoba, berkolaborasi sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya secara lebih optimal. Selain kualitas relasi guru dan murid, lingkungan kelas yang aman dan positif juga dapat diciptakan melalui berbagai kegiatan pembelajaran yang dapat merangkul keberagaman dan perbedaan, melibatkan murid,  dan menumbuhkan optimisme. pembelajaran sosial dan emosional memungkinkan sekolah menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menghadirkan keterbukaan, keterlibatan koneksi dan tujuan yang berpihak pada murid.


“Besok, di manapun Anda berada, lakukan perubahan kecil di kelas Anda. Apapun perubahan kecil itu, jika setiap guru  melakukannya secara serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak.“  _Nadiem Anwar Makarim_



KESIMPULAN MODUL

  1. Sebelum mempelajari modul ini, saya berpikir bahwa kemampuan sosial emosional murid terpisahkan dan tidak tergantung pada pembelajaran dan iklim sekolah sehingga saya tidak terlalu mengutamakan kompetensi tersebut untuk digali dan dipupuk pada diri murid bahkan pada diri saya sendiri. Setelah mempelajari modul ini, ternyata asumsi awal saya sangat fatal. 

  2. Berkaitan dengan kebutuhan belajar dan lingkungan yang aman dan nyaman untuk memfasilitasi seluruh individu di sekolah agar dapat meningkatkan kompetensi akademik maupun kesejahteraan psikologis (well-being),  3 hal mendasar dan penting yang saya pelajari adalah: Menjadi teladan dalam memodelkan kompetensi sosial dan emosional di seluruh komunitas sekolah, mengimplementasikannya dan berkolaborasi dengan komunitas untuk mempromosikan kompetensi sosial emosional ini di seluruh sekolah.

  3. Berkaitan dengan no 2, perubahan yang akan saya terapkan di  kelas dan sekolah:
    1. bagi murid-murid: Insyaa Allah saya akan melaksanakan refleksi awal dan akhir kegiatan secara konsisten agar perasaan-perasaan yang terpendam dalam diri dapat tersalurkan melalui gambar-gambar maupun tulisan sehingga saya bisa memfasilitasinya.

    2. bagi rekan sejawat: Bersama-sama memahami pentingnya kompetensi sosial emosional ini untuk diri bersama. Insyaa Allah saya juga akan membuat bagan/ perasaan diri baik itu untuk rekan sejawat akan saya pasang di ruang guru dan untuk rekan tendik akan saya letakkan di ruang TU.

      Bissmillahirrahmaanirrahiim...



Koneksi Antar Materi Modul 3.3 Pengelolaan Program yang Berdampak Positif pada Murid

  Apa itu kepemimpinan murid ( student agency )? Konsep kepemimpinan murid  sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki kemampuan d...